Sebenarnyasehebat apakah seorang wanita jawa yang bernama kartini ini? Dia tetap hidup meskipun jasadnya telah hancur berkalang tanah. Begitu dahsyatnya gebrakan yang kartini lakukan sehingga dapat membuat mata dunia terbuka, menginspirasi banyak orang khusunya seorang wanita untuk dapat berkarya pada dunia tak sebatas keluarga.
Inilahjasa RA Kartini bagi bangsa indonesia: Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Hindia Belanda, 21 April 1879 - meninggal di Rembang, Hindia Belanda, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Dalamsejarahnya, Kabupaten Jepara tidak dapat dilepaskan dengan sosok Raden Ajeng Kartini [1879-1904], tokoh perempuan Jawa yang memperjuangkan emansipasi dan hak-hak perempuan di masa kolonial. RA Kartini pada masanya mendongkrak kultur feodalistik dan paternalistik, serta mengilhami perempuan melawan diskriminasi terhadap kaum hawa.
RadenAjeng Kartini atau R. A. Kartini adalah satu dari sederet pahlawan perempuan nasional yang meninggalkan jasa besar untuk Negeri. Ia dikenal sebagai tokoh utama emansipasi wanita di Indonesia. ADVERTISEMENT. Mengalami banyak rintangan tidak membuat Kartini berhenti berjuang untuk kesetaraan antara perempuan dan laki-laki kala itu.
Kartinilahir di Jepara Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1897. Kartini adalah putri dari Adipati Ario Sosrodiningrat, Bupati Jepara. Ia putri dari istri pertama tapi bukan dari istri utama. Ibunya bernama M.A Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telu-kawur,Jepara.
Saatitu Kiai Sholeh yang berasal dari Desa Darat, Semarang, sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. RA Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Alquran diterjemahkan. Karena permintaan Kartini, dan panggilan untuk berdakwah, Kiai Sholeh menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.
RadenAjeng Kartini atau Kartini menjadi tokoh besar dalam emansipasi wanita di Indonesia. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 bertempat di Jepara, Jawa Tengah. Ia merupakan perempuan berasal dari keluarga terpandang.
Raden Ajeng Kartini. Raden Ajeng (R.A.) Kartini adalah pejuang emansipasi wanita yang hidup di jaman Hindia Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. cerita tentang R.A Kartini tidak hanya menjadi catatan sejarah di buku pelajaran sekolah. "Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa ajarlah ia mengenal Tuhan yang Esa
SoalCerita Raden Ajeng Kartini Bahasa Jawa Raden Ajeng Kartini. Kartini salah sijine pejuang wanita Indonesia. Panjenengane kagungan gegayuhan sing adi luhung. Tekade kepengin ngajokake kaum wanita. Gegayuhane iku kepriye supaya kaum wanita Indonesia nduweni hak sing padha karo kaum priya. Kaum wanita saiki wis ngrasakake uwohe.
Ilustrasiaksara jawa. Foto: dok. SOLO, Cerita rakyat Jawa Tengah asal usul aksara Jawa akan menjelaskan awal mula bagaimana aksara Jawa berkembang di Jawa Tengah. Aksara Jawa bahkan sampai sekarang masih dipakai dalam kehidupan rakyat Jawa Tengah. Seperti yang kita ketahui Akasara Jawa merupakan suatu abjad atau huruf yang
xwIpjzn. › Tokoh›Raden Ajeng Kartini Raden Ajeng Kartini atau biasa ditulis RA Kartini adalah pahlawan nasional yang memperjuangan emansipasi perempuan. Surat-suratnya yang dibukukan dengan tajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang” memuat cita-cita dan pemikiran-pemikirannya dalam memperjuangan hak-hak perempuan di Indonesia. Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau acap disapa Kartini merupakan sosok pahlawan Indonesia yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan. Cita-cita luhur Kartini ingin menghapuskan penderitaan perempuan yang terkungkung dalam tembok tradisi dan adat-istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa. Kala itu, perempuan selalu menjadi potret tragis yang tidak memiliki kebebasan, seperti pelarangan mengenyam pendidikan, adanya pingitan, hingga harus siap dipoligami oleh suami dengan dalih melalui surat-surat yang dikirimkan ke sababat penanya mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam mendobrak tradisi feodal-patriarkal yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Ia ingin perempuan memiliki masa depan yang lebih maju, bebas, cemerlang, dan merdeka. Ia menganggap pendidikan merupakan jalur mutlak yang diperlukan demi mengangkat derajat perempuan dan martabat bangsa Indonesia. Baginya, pengajaran kepada perempuan secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa. Atas cita-cita dan perjuangannya melalui pemikiran-pemikiran itu Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 108 Tahun 1964 tentang Penetapan Kartini sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden ningratKartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ia merupakan seorang perempuan berdarah ningrat Jawa. Ayahnya yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah wedana Mayong, yang kemudian menjadi Bupati Jepara, sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah. Sang ibu merupakan seorang putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, kelima dari 11 bersaudara ini memang terlahir dari keturunan keluarga cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV menjadi bupati pada usia 25 tahun. Dia adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya dengan pelajaran khas Barat, langsung dari seorang guru asli Negeri progresif kakeknya yang memberikan pendidikan Barat pada putra-putranya, diwarisi oleh sang ayah Sosroningrat. Dia menyekolahkan semua anaknya ke Europese Large School, sekolah gubernemen kelas satu yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan Jawa yang 1885 Kartini mulai bersekolah di Europese Large School ELS. Di sekolah inilah untuk pertama kalinya Kartini mendapatkan bahan bekal perjuangannya. Setamatnya di ELS, Kartini ingin meneruskan pendidikannya ke Semarang, di Hoogere Burgerschool HBS. Kartini pernah ditawari untuk sekolah ke Belanda oleh gurunya. Namun, sang ayah tidak lagi memberi izin dan Kartini tak kuasa bersekolah hanya sampai usia 12 tahun, dan terpaksa harus keluar untuk menjalani masa pingitan. Masa-masa inilah disebut Kartini bagai dalam penjara’. Kartini tidak banyak bergaul selama masa pingitannya. Justru, ia mulai merenung tentang nasib perempuan yang terkungkung adat dan tidak bisa menentukan masa depannya masa pingitan tersebut Kartini mengasah pemikirannya dengan banyak belajar seorang diri. Sebab bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda, salah satunya Rosa usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri. Lantaran menguasai bahasa Belanda, maka ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Zeehandelaar, kawan pena Kartini, menyarankan kepada Ir. H. H. van Kol anggota parlemen Belanda yang satu partai dengan Stella agar mengunjungi putri-putri Bupati Sosroningrat. Ia menjelaskan bagaimana keinginan Kartini dan Roekmini adiknya untuk bisa belajar ke 20 April 1902, van Kol yang didampingi wartawan De Locomotief, Stoll, tiba di Jepara dan disambut dengan sangat ramah oleh keluarga Bupati Jepara. Di sinilah kesempatan van Kol untuk berbincang dengan Kartini, sekaligus membicarakan beasiswa itu. Kartini diminta untuk segera membuat surat peran Van Kol memperjuangkan beasiswa Kartini dalam sidang Tweede Kamer pada 26 November 1902, Menteri Seberang Lautan A. W. F. Idenburg menyetujui untuk memproses beasiswa jalan sudah terbuka, tapi ia batal ke Belanda karena alasan politis. Alasan itulah yang menjadikan Kartini kembali memilih berkorban demi ketenteraman keluarga dan mengorbankan pamrih pribadi. Lantas, ketika beasiswa dari Belanda akhirnya benar-benar datang, Kartini menyarankan supaya Agus Salim yang usia 24 tahun, Kartini menyadari bahwa usahanya untuk bersekolah lagi tak akan pernah terlaksana. Saat ia menunggu keputusan beasiswa dari Batavia, tiba-tiba Bupati Sosroningrat menerima utusan Bupati Djojoadhiningrat dari Rembang yang membawa surat lamaran untuk tak mampu menolaknya. Ia lantas menyetujui saran ayahnya untuk menikah, dengan berbagai alasan, antara lain, di Rembang ia bisa meneruskan cita-citanya membuka sekolah didampingi seorang suami yang berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan. Ia pun resmi menjadi seorang istri dari duda yang telah memiliki tujuh anak dan dua orang Ajeng KartiniKarierPerjuangan Kartini dimulai sejak ia berada dalam masa pingitan saat ia berusia 12 tahun. Selama masa pingitan ini Kartini mulai rajin membaca buku dan mengasah pikirannya. Memasuki usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari buku-buku, koran, dan majalah, Kartini kian tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Adapun beberapa buku yang dibacanya adalah Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht karya Louis Coperus, karya Van Eeden, Augusta de Witt, Goekoop de-Jong Van Beek, dan sebuah roman anti-perang Die Waffen Nieder karangan Berta Von pemikiran milik Eropa itulah yang menimbulkan keinginan tulus Kartini untuk memajukan perempuan pribumi, di saat kondisi sosial perempuan pribumi berada pada status sosial yang juga banyak membaca surat kabar De Locomotief asuhan Pieter Brooshooft. Ia beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat dalam majalah tersebut. Kartini pun hadir sebagai contoh terbaik hasil pendidikan Belanda kepada kaum inlander. Mulai saat itu, nama Kartini sontak dikenal, apalagi setelah tulisan-tulisan lainnya dimuat dalam berbagai majalah. Tema tulisannya berkisar soal kepentingan pendidikan bagi kaum bu-miputra, terutama kaum wanita majalah De Hollandsche Lelie, ia lantas memperoleh sahabat pena pertamanya, yaitu Stella Zeehandelaar. Diikuti oleh sejumlah teman pena lain yakni Abendanon, H. H. van Kol dan istrinya, Nyonya E. Ovink, dan Dr. Nicolaus Adriani. Kartini mulai memasuki babak baru dalam kehidupan melukiskan dan menguraikan cita-cita, ulasan, dan kecamannya kepada Belanda melalui lukisan penanya. Ia selalu berusaha mengenal bagaimana kehidupan rakyat sekitarnya. Ia pun menemukan bahwa pendidikan adalah kemutlakan yang perlu dibangun untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Sebab itu, perlu didirikan sekolah untuk perempuan Sulastin Sutrisno guru besar luar biasa pada Fakultas Sastra UGM Yogyakarta seperti dikutif dari Majalah Intisari, 1991, Kartini tak jarang juga menulis tentang kesenian yang ada di Jepara, misalnya seni ukir, seni batik dan lainnya. Padahal kegiatan menulis di saat itu bagi wanita, masih dianggap tak patut - apalagi dilakukan seorang gadis. Namun demikian, dokumen karangan Kartini di beberapa media massa itu sampai sekarang belum ditemukan. Dalam sejumlah tulisannya, Kartini memakai nama samaran Tiga itu, perjalanan hidup Kartini tak bisa lepas dari seni. Baginya, pikiran adalah puisi dan pelaksanaannya adalah seni. Dengan kebesaran daya ciptanya, ia dapat merasakan nafas seni dalam jiwa-jiwa puisi tersebut. Alih-alih seni merupakan salah satu alat terpenting dalam perjuangan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan, persis seperti merupakan seorang seniwati dalam banyak bidang, jauh sebelum ia mengkhususkan dirinya sebagai seniwati sastra. Adapun beberapa bidang seni yang dikuasai Kartini ialah membatik, melukis, mengukir, peminat musik, dan Kartini berakhir setelah ia menikah. Pada 13 September 1904 ia melahirkan anak yang dinamai Soesalit. Kartini yang memang sudah mulai sakit-sakitan pun akhirnya meninggal empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, yaitu pada 17 September 1904. Kartini meninggal pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, memperjuangan emansipasi wanita akhirnya diakui negara setelah lebih dari setengah abad dari wafatnya. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini..surat-surat KartiniSatu hal yang membuat Kartini istimewa dan bernilai lebih adalah surat-surat berbahasa Belanda yang ia tulis kepada sahabat penanya yang sebagian besar orang Belanda. Sahabat pena pertamanya adalah Stella Zeehandelaar yang dikenal melalui majalah De Hollandsche Lelie. Lalu pasangan suami istri Abendanon yang di kemudian hari membukukan surat-surat yang dikirim Kartini. Kemudian Ir. H. H. van Kol dan istrinya, Nyonya Ovink, serta Dr. N. Adriani. Sahabat penanya itu merupakan orang-orang yang berpengaruh besar pada pemikiran dan cita-cita surat-suratnya Kartini membaca apa saja dengan teliti, sambil membuat catatan-catatan. Perhatiannya tak hanya semata soal emansipasi perempuan, tetapi juga masalah sosial umum. Ia melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih di akhir usianya, tercatat ada 246 surat tinggalan Kartini yang tersimpan di luar negeri. Dari surat sejumlah itu, kemudian dianalisis 155 surat yang kemudian dicetak dan dipublikasikan sebagai buku Door Duisternis tot Licht. Buku tersebut merupakan surat-surat Kartini yang dikumpulkan dan dibukukan oleh pasangan suami istri Jacques Abendanon tampaknya telah memberi pengaruh besar terhadap pemikiran Kartini. Hal itu tercermin dari kalimat-kalimat di suratnya. Kepada Nyoya Abendanon-lah Kartini menumpahkan segala pemikiran, cita-cita, dan isi hatinya melalui ratusan lembar surat yang ditulis dengan tangannya surat- surat Kartini. Nyonya Abendanon selalu disebut "Ibu" dan merupakan tempat Kartini mencurahan isi hati pribadinya. Bahkan sampai kini, surat terakhir Kartini diketahui dikirim ke Nyonya Abendanon, tertanggal 7 September 1907, Rembang hanya 6 hari sebelum kelahiran putra tunggal Kartini atau 10 hari menjelang Kartini tutup itu, sahabat pena pertamanya adalah Stella M. Zeehandelaar, wanita Belanda putri seorang dokter yang usianya lima tahun lebih tua dari Kartini turut mempengaruhi pemikiran dan cita-cita Kartini. Stella yang dianggap Kartini wanita "modern", berkenalan pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollanse Lelie. Lalu Stella yang terpisah jarak begitu jauh dengan Kartini, rupanya berperan besar dalam pemikiran penulisan gadis Jepara ini. Dalam salah satu suratnya, Stella memberikan komentar tak mengerti pertimbangan Kartini yang menerima lamaran Bupati Rembang sebagai seorang insinyur pengairan yang pernah bertugas di Jawa yakni Ir Henri Hubert van Kol. Henri sering berhubungan dengan orang Jawa dan melihat ketimpangan dan kemiskinan salah satu bangsa jajahan negaranya, dan dituangkannya dalam tulisan. Kartini kenal dengan Henri van Kol dan istrinya, Nellie van Kol-Porrey melalui majalah langganan Kartini, De Hollanse Lelie. Pengaruh pasangan Belanda ini cukup besar dalam pemikiran Kartini, khususnya dalam soal kemiskinan dan masyarakat Jawa di sekitar kehidupan lainnya adalah asisten residen Ovink di Jepara. Keluarga Ovink berkenalan dengan keluarga Bupati Jepara, lalu Nyonya Maria Ovink yang menjadi guru privat anak-anak Bupati Jepara ini akrab sekali dengan Kartini. Kartini belajar banyak dari Nyonya Ovink-Soer yang dikenal berasal dari keluarga seniman, juga penulis roman dan buku anak-anak. Sosok terakhir adalah Dr Nicolaus Adriani, pakar etnologi dan linguistik Toraja sebagai salah satu "langganan" korespondensi Kartini terhadap sosok-sosok tersebut lantas dikumpulkan dan diterbitkan oleh J. H. Abendanon dalam bahasa Belanda. Cetakan pertama diterbitkan oleh s-Gravenhage, Van Dorp 1911 dengan judul Door Duisternis Tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" atau “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku kumpulan surat Kartini ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat kemudian juga menulis artikel tentang Kartini Les Idees d\'une Jeune Javanaise Pikiran-pikiran Perempuan Muda Jawa pada tahun 1913 dalam majalah Perancis L\'Asie Francaise. Terjemahan surat-surat Kartini terbit dalam Bahasa Perancis tahun 1960. Adapun Edisi Inggris pertama terbit di New York tahun 1920 berjudul Letters of a Javanese Princess terjemahan Agnes L Symmers, dengan kata pengantar oleh sastrawan Belanda, Louis Couperus, yang mengalami beberapa kali cetak Edisi berbahasa Melayu, terbit tahun 1922 dalam seri Volkslectuur Bacaan Rakyat di Jakarta. Edisi tersebut memuat pilihan tertentu dari surat-surat Kartini yang ada dalam edisi Belanda di bawah judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Terjemahan dilakukan oleh empat orang Indonesia dengan kata pengantar oleh Abendanon 1938, kemudian keluarlah buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang terbitan Balai Pustaka hasil karya Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Buku itu kemudian, dicetak berkali-kali hingga terbitan terakhir Tahun 2008. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Sunda, serta bahasa asing surat-surat Kartini sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikirannya mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran Kartini pun menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, salah satunya Soepratman yang menciptakan lagu berjudul "Ibu Kita Kartini". Lagu tersebut menggambarkan inti perjuangan wanita untuk POURWANTOIbu Tien Soeharto berziarah di makam RA Kartini di Rembang Jawa Tengah dalam rangka peringatan Hari Kartini 21/4/1979Perintis emansipasiPramoedya Ananta Toer menggambarkan Kartini sebagai pemikir modern Indonesia pertama yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin. Sah saja, pasalnya Kartini memang bercita-cita mengubah kondisi kehidupan yang menurutnya tidak adil dan justru menindas di balik istilah adat-istiadat dan feodalisme politik kepahlawanan Kartini antara lain melawan perkawinan di bawah umur pada akhir 1800-an, sudah marak perempuan usia anak -13 sampai 14 tahun- dinikahkan secara paksa, memperjuangkan pendidikan kepada masyarakat Jawa, menyuarakan gagasan untuk kemajuan masyarakat Jawa kepada teman-teman korespondennya di negara-negara yang tidak sama antara dirinya dan saudara laki-lakinya, serta apa yang ia ketahui perihal keadaan masyarakat sekitarnya mendorong Kartini untuk bangkit menuntut emansipasi perempuan. Kemudian, ia menemukan bahwa pendidikan perempuan lah yang harus menjadi landasan atau sendi yang kuat untuk meningkatkan martabat bangsa dan khususnya perempuan itu merupakan corak dari kehidupan kaum perempuan, yaitu menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kartini pun telah mengenal istilah emansipasi dari buku-buku Barat bacaannya semenjak ia terkurung dalam Sosial RI di masa Orde Baru yakni Prof Dr Haryati Soebadio mengutarakan saat Kartini menerima "nasibnya" menjadi menjadi istri bupati yang sudah beranak enam, bukan berarti dia menyetujui poligami. "Kartini bersedia menjadi istri bupati karena dia yakin bisa berbuat banyak terhadap cita-citanya. Pengertian emansipasi tak harus diartikan wanita itu memiliki kebebasan dalam segala hal yang sama dengan lelaki. Yang diperjuangkan Kartini adalah kesempatan wanita mengenyam pendidikan setinggi-tingginya," kata menteri sosial Sutrisno yang banyak mendalami Kartini melalui surat- suratnya dan menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, menganggap dalam jiwa perempuan Jawa ini, sebenarnya mengendap jiwa luhur dan cita-cita murni. Walaupun Kartini hanya 5 hari saja mengenyam kebahagiaan Ibu yang sejati, mereguk kebahagiaan 5 hari saja mendekap putra tunggalnya, kemudian wafat sebelum melaksanakan buah pikiran dan menjadi saksi keterwujudan pikiran-pikirannya, namun surat-suratnya sebetulnya sudah mewariskan suatu kehidupan jiwa yang kaya, serta nilai-nilai kemanusiaan yang meninggal dunia dengan bahagia seperti yang sebelumnya ditulis kepada Nyonya Abendanon "Walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Jalan sudah terbuka dan saya telah turut merintis jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputra." Kompas, 21 April 1991KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDISejumlah wisatawan mengunjungi Museum Kartini di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, menjelang peringatan Hari Kartini, Senin 15/4/2013. Museum ini dulunya menjadi tempat tinggal RA Kartini bersama suaminya, Bupati Rembang Djojo
KONTRADIKSI. Kehidupan Kartini yang penuh kontradiksi. Foto oleh Dodo Karundeng/ANTARA Jakarta, IDN Times – Sosok Raden Ajeng Kartini atau Kartini dikenal sebagai pahlawan hak kaum perempuan di Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangannya di masa lampau, tanggal kelahiran Kartini pun diperingati sebagai hari pahlawan yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada 2 Mei 1964, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Keppres No. 108 Tahun beberapa hal tentang Kartini yang penting untuk diketahui lebih lanjut. Yuk, simak. Baca Juga Made Citra Dewi Jadi Anggota TNI Itu Berat, tapi Indah 1. Kartini mahir berbahasa BelandaMuseum RA Kartini di Jalan Alun-alun Jepara, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Yusuf NugrohoFakta menarik pertama Kartini adalah, beliau mahir berbahasa Belanda. Sebagai seorang anak bangsawan Jawa, Kartini mendapatkan pendidikan yang cukup. Dari pendidikan itu, Kartini memperoleh kesempatan untuk mempelajari Bahasa Belanda. Kemampuannya berbahasa Belanda itulah yang membuat ia memiliki akses untuk berkomunikasi dengan berbagai elemen pemerintahan Belanda masa ia mampu menuliskan permohonan beasiswa pendidikan kepada Pemerintah Belanda saat berusia 20 tahun. Permohonan itu sempat disetujui. Hanya saja, kala itu Kartini sudah menikah sehingga beasiswa pun diberikan kepada orang hanya itu, Kartini juga sempat menuliskan surat protes kepada pemerintahan Hindia Belanda. Dalam suratnya, Kartini meminta pemerintah Hindia Belanda untuk memasukkan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda dalam kurikulum pendidikan kaum merangkai kata-kata dalam Bahasa Belanda itulah, salah satu hal yang dikagumi banyak sahabat dari kalangan bangsa Belanda. 2. Jago masak dan sempat menulis resep masakan dalam aksara JawaMuseum RA Kartini di Jalan Alun-alun Jepara, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Yusuf NugrohoSelain membaca dan menulis, hobi Kartini yang cukup dikuasainya ialah memasak. Ia mampu memasak beragam masakan, khususnya masakan khas Jawa. Kartini sempat mengumpulkan dan menuliskan resep-resep masakannya. Resep-resep itu ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Penulisan resep dengan aksara Jawa tersebut menunjukkan Kartini masih menguasai tradisi budaya Kartini menggunakan kemahiran memasaknya sebagai sarana diplomasi kebudayaan dengan pemerintahan Hindia Belanda kala itu. Melalui masakannya, Kartini berhasil mengenalkan budaya Jawa kepada bangsa Belanda sehingga mereka menghormati kebudayaan itu kemudian ditulis kembali oleh Suryatini N. Ganie, cicit Kartini, dalam buku berjudul “Kisah & Kumpulan Resep Putri Jepara; Rahasia Kuliner Kartini, Kardinah, dan Roekmini.” 3. Nama Kartini dijadikan nama jalan di BelandaKONTRADIKSI. Kehidupan Kartini yang penuh kontradiksi. Foto oleh Dodo Karundeng/ANTARASeorang Kartini tidak hanya dicintai dan dihormati di Indonesia. Ia juga dihormati di Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya nama jalan Kartini di Belanda, yakni di Kota Utrecht, Venlo, Amsterdam, dan Utrecht, Jalan Kartini terletak di kawasan deretan perumahan yang tertata apik. Jalan tersebut dihuni oleh kalangan menengah. Jalan utamanya berbentuk huruf U’ yang ukurannya lebih besar dibandingkan jalan-jalan yang menggunakan nama-nama tokoh Eropa Venlo, nama jalan RA Kartinistraat terletak di kawasan Hagerhof. Bentuk jalannya berupa huruf O’ di mana di sekitarnya juga terdapat nama jalan dari tokoh Anne Frank dan Mathilde di Ibukota Belanda, yakni Amsterdam, jalan Raden Adjeng Kartini ada di daerah Zuidoost atau dikenal dengan Bijlmer. Di sekitar jalan tersebut, terdapat nama-nama jalan dari tokoh-tokoh ternama yang berkontribusi kepada sejarah dunia, seperti Jalan Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, dan Isabella menarik, ialah di Haarlem. Nama jalan Kartini berdampingan dengan nama jalan dari tokoh-tokoh perjuangan Indonesia. Jalan Kartini berdekatan dengan Jalan Mohammed Hatta, Jalan Sutan Sjahrir, dan langsung tembus ke Jalan Chris Soumokil, Presiden Kedua Republik Maluku Selatan RMS.4. Menjadi seorang juru dakwah IslamMurid TK dan SD berpawai mengenakan busana tradisional untuk menyambut Hari Kartini, Bulak Banteng, Surabaya. ANTARA FOTO/Didik SuhartonoSiapa yang menyangka, Kartini juga dikenal sebagai juru dakwah agama Islam. Ia belajar menekuni ajaran agama Islam dari Kyai Sholeh bin Umar, seorang ulama dari Darat, mulai menekuni ajaran Islam secara mendalam ketika Kyai Sholeh berceramah mengenai tafsir Surat Al-Fatihah. Dari penjelasan Kyai Sholeh tentang makna ayat Al-Fatihah tersebut, Kartini semakin tertarik mendalami Al Qur’an. Bahkan, ia pun ikut berdakwah dan menunjukkan wajah Islam yang ramah kepada bangsa Belanda. Kartini, melalui surat-suratnya kepada koleganya di Belanda, selalu menjelaskan ajaran dan menunjukkan sisi keindahan Islam. Pertemuan Kartini dengan Kyai Sholeh dapat dikatakan sebagai bagian perjalanan spiritual penting dalam Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” menuai kontroversiSumber Gambar Gelap Terbitlah Terang” merupakan salah satu buku yang cukup identik dengan Kartini. Buku tersebut merupakan kumpulan 53 surat Kartini yang ditujukan kepada sahabat orang Belanda, Rosa tersebut kemudian dikumpulkan oleh Abdendanon. Total ada 150 surat yang berhasil dikumpulkan Abdendanon. Namun, tidak semua surat tersebut ditampilkan dalam buku yang dalam Bahasa Belanda berjudul “Door Duisternis tot Licht” buku tersebut, banyak pemikiran Kartini yang mengkritik kondisi sosial yang ditemui di sekitar, khususnya terhadap posisi perempuan dalam struktur sosial masyarakat kala buku itu sempat diragukan kebenarannya oleh para sejarawan. Sebab, tidak ada bukti bahwa seluruh surat yang ada di dalam buku tersebut adalah tulisan Kartini. 6. Cerita Kartini diangkat ke layar lebar oleh Hanung tahun 2017, Kartini diangkat menjadi film layar lebar dengan judul Kartini oleh sutradara kondang Hanung Bramantyo. Sosok Kartini sendiri diperankan oleh Dian ini bukan kali pertama film layar lebar mengangkat tokoh besar tersebut. Sebelumnya pada tahun 1984, Sjumandjaya telah menghasilkan film biografi dengan judul Kartini. Kemudian pada tahun 2016, sebuah film fiksi kisah asmara berjudul Surat Cinta Untuk Kartini juga Orang tua memaksa Kartini menikah mudaLomba peragaan busana daerah kategori PAUD dan TK, Bogor, untuk menyambut Hari Kartini. ANTARA FOTO/Arif FirmansyahOrang tua Kartini meminta ia untuk menikah dengan Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang yang sudah pernah memiliki tiga orang istri. Ia menikah pada 12 November 1903. Beruntungnya, sang suami mengerti keinginan Kartini sehingga diberi kebebasan dan didukung secara penuh untuk mendirikan Sekolah Wanita yang terletak di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten usia yang ke-25, Kartini melahirkan seorang putera yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat, tepatnya pada 13 September 1904. Empat hari setelah melahirkan, Kartini harus berpulang. Konon, nama Soesalit merupakan singkatan kata-kata dalam Bahasa Jawa “susah naliko alit” yang berarti susah di waktu kecil karena tidak pernah mengenal sang ibu. Baca Juga Peringati Hari Kartini, Banyuwangi Akan Gelar Women Cycling Challenge
1879-1904Who Was Raden Adjeng Kartini?Raden Adjeng Kartini opened the first Indonesian primary school for native girls that did not discriminate based on social standing in 1903. She corresponded with Dutch colonial officials to further the cause of Javanese women's emancipation up until her death, on September 17, 1904, in Rembang Regency, Java. In 1911, her letters were YearsKartini was born to a noble family on April 21, 1879, in the village of Mayong, Java, Indonesia. Kartini's mother, Ngasirah, was the daughter of a religious scholar. Her father, Sosroningrat, was a Javanese aristocrat working for the Dutch colonial government. This afforded Kartini the opportunity to go to a Dutch school, at the age of 6. The school opened her eyes to Western ideals. During this time, Kartini also took sewing lessons from another regent's wife, Mrs. Marie Ovink-Soer. Ovink-Soer imparted her feminist views to Kartini, and was therefore instrumental in planting the seed for Kartini's later Kartini reached adolescence, Javanese tradition dictated that she leave her Dutch school for the sheltered existence deemed appropriate to a young female to adapt to isolation, Kartini wrote letters to Ovink-Soer and her Dutch schoolmates, protesting the gender inequality of Javanese traditions such as forced marriages at a young age, which denied women the freedom to pursue an in her eagerness to escape her isolation, Kartini was quick to accept a marriage proposal arranged by her father. On November 8, 1903, she wed the regent of Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat. Joyodiningrat was 26 years older than Kartini, and already had three wives and 12 children. Kartini had recently been offered a scholarship to study abroad, and the marriage dashed her hopes of accepting it. According to Javanese tradition, at 24 she was too old to expect to marry on spreading her feminist message, with her new husband's approval, Kartini soon set about planning to start her own school for Javanese girls. With help from the Dutch government, in 1903 she opened the first Indonesian primary school for native girls that did not discriminate on the basis of their social status. The school was set up inside her father's home, and taught girls a progressive, Western-based curriculum. To Kartini, the ideal education for a young woman encouraged empowerment and enlightenment. She also promoted their lifelong pursuit of education. To that end, Kartini regularly corresponded with feminist Stella Zeehandelaar as well as numerous Dutch officials with the authority to further the cause of Javanese women's emancipation from oppressive laws and traditions. Her letters also expressed her Javanese nationalist and LegacyOn September 17, 1904, at the age of 25, Kartini died in the regency of Rembang, Java, of complications from giving birth to her first child. Seven years after her death, one of her correspondents, Jacques H. Abendanon, published a collection of Kartini's letters, entitled "From Darkness to Light Thoughts About and on Behalf of the Javanese People." In Indonesia, Kartini Day is still celebrated annually on Kartini's FACTSName Raden Adjeng KartiniBirth Year 1879Birth date April 21, 1879Birth City Mayong, JavaBirth Country IndonesiaGender FemaleBest Known For Raden Adjeng Kartini was a Javanese noblewoman best known as a pioneer in the area of women's rights for native and AcademiaWriting and PublishingAstrological Sign TaurusNacionalitiesIndonesian IndonesiaDeath Year 1904Death date September 17, 1904Death City Rembang RegencyDeath Country IndonesiaFact CheckWe strive for accuracy and you see something that doesn't look right,contact us!CITATION INFORMATIONArticle Title Raden Adjeng Kartini BiographyAuthor EditorsWebsite Name The websiteUrl Date Publisher A&E; Television NetworksLast Updated April 21, 2020Original Published Date April 2, 2014QUOTESI have been longing to make the acquaintance of a 'modern girl,' that proud, independent girl who has all my sympathy! She who, happy and self-reliant, lightly and alertly steps her way through life, full of enthusiasm and warm feelings; working not only for her own well-being and happiness, but for the greater good of humanity as a whole.